Puisi Baru

PUISI

1.  Puisi balada

Balada Terbunuhnya Atmo Karpo
Dengan kuku-kuku besi kuda menebah perut bumi
bulan berkhianat gosok-gosokkan tubuhnya
di pucuk-pucuk para
mengepit kuat-kuat lutut penunggang perampok
yang diburu
surai bau keringat basah, jenawi pun telanjang

Segenap warga desa mengepung hutan itu
dalam satu pusaran pulang balik Atmo Karpo
mengutuki bulan betina dan nasibnya yang malang
berpancaran bunga api, anak panah di bahu kiri.

Satu demi satu yang maju tersadap darahnya
penunggang baja dan kuda mengangkat kaki muka

Nyawamu barang pasar, hai orang-orang bebal!
Tombakmu pucuk daun dan matiku jauh orang papa

Majulah Joko Pandan! Di mana ia?
Majulah ia kerna padanya seorang kukandung dosa

Anak panah empat arah dan musuh tiga silang
Atmo Karpo masih tegak, luka tujuh liang

Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Bedah perutnya tapi masih setan ia!
menggertak kuda, di tiap ayun menungging kepala

Joko Pandan! Di mana ia?
Hanya padanya seorang kukandung dosa.

Berberita ringkik kuda muncullah Joko Pandan
segala menyibak, bagi derapnya kuda hitam
ridla dada, bagi derunya dendam yang tiba

Pada langkah pertama keduanya sama baja
Pada langkah ketiga rubuhlah Atmo Karpo
Panas luka-luka, terbuka daging kelopak-kelopak angsoka

Malam bagai kedok hutan bopeng oleh luka
pesta bulan, sorak-sorai, anggur darah.

Joko Pandan menegak, menjilat darah di pedang
Ia telah membunuh bapaknya.


2.  Puisi himne
Doa
Karya : Taufiq Ismail
Tuhan kami
Telah nista kami dalam dosa bersama
Bertahun membangun kultus ini
Dalam pikiran yang ganda
Dan menutupi hati nurani
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin
Tuhan kami
Telah terlalu mudah kami
Menggunakan asmaMu
Bertahun di negeri ini
Semoga
Kau rela menerima kembali
Kami dalam barisanMu
Ampunilah kami
Ampunilah
Amin.
1966

Puisi ode

Generasi Sekarang
Karya : asmaranda hadi
Di atas puncak gunung fantasi
Berdiri aku, dan dari sana
Mandang ke bawah, ke tempat berjuang
Generasi sekarang di panjang masa
Menciptakan kemegahan baru
Pantoen keindahan Indonesia
Yang jadi kenang-kenangan
Pada zaman dalam dunia



4.  Puisi Epigram
Hari ini tak ada tempat berdiri
Sikap lamban berarti mati
Siapa yang bergerak, merekalah yang di depan
Yang menunggu sejenak sekalipun pasti tergilas.
(Iqbal)



5.  Puisi romance
Puisi pertamaku untuknya
Kala ku melihat hujan…
Ku seolah merasakan dan mengerti tiap getarnya
Getaran-getaran aneh yang tak dipedulikan oleh sebagian orang..
Getaran-getaran aneh yang ditangisi
Tapi hampir semua orang memberinya senyum
Sungguh..
Mulanya kukira itu hanya sebuah fatamorgana
Ku kira tak ada..
Tapi itu ada
Dulu, ia datang saat malam hari
Menggedor mimpi..
Lalu tiba-tiba ia bercahaya di tengah gelap
Menerangi sebuah ruangan sempit yang berdebu di tempat itu..
Aku melihat sinar itu menangis
Ku beranikan diri tuk bertanya padanya
Mengapa kau menangis?
Ia tak menjawab..
Terus saja menangis
Tetesan air matanya bening sperti berlian
Ketika kusentuh air mata itu
Benda itu langsung menyala indah..
Memancarkan aura kesetiaan yang murni dan cinta yang tulus..
Menyayangi apa adanya..
Sekarang..
Kulihat sinar itu tersenyum bahagia..
Ia memancarkan cahaya merah muda bercampur kuning yang sangat lembut..
Aku merasa
Aku telah memberikan berlian itu pada orang yang sangat tepat..
Aku telah memberikannya kepadamu..
Kaulah niji yang datang setelah hujan reda..
Kaulah bintang terindah yang kulihat saat malam..
Ijinkan aku berucap padamu
Slamat datang di hidupku..
Puisi elegi
Senja di pelabuhan kecil
Karya : Chairil Anwar
Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis memepercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air hilang ombak
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap
Dari: Deru Campur Debu (1949)





7.  Puisi satire
Rokok

Pagi hari yang sunyi
Kau temani diriku
Ku hisap kau pelan-pelan
Kau masuki setiap inci paru-paruku

Kurelakan tubuhku kau rasuki
Ku tahu itu
Ku rasakan itu

Kopi cinta sebagai pasanganmu
Menemani hari-hariku
Tak lebih tak kurang
Penghancur pelan
Dengan nikmat sesaat

Makin ku hisap dirimu
Makin tak kuasa ku tolak
Walau ku sadar kau wahai racun jingga
Yang mengotori setiap tetes darahku

Aku harus berhenti menjadikanmu teman
Kau harus kutinggalkan di hari-hariku kini
Walau dalam kesendirianku
Dalam kesunyian dan kesepian
Aku yakin aku bisa
Selamat tinggal racun jingga



No Response to "Puisi Baru"

Leave a Reply

Popular Posts

 
powered by Blogger | For Blogservices